hay sobat - sobat sekalian saat ini saya membagikan meteri tentang hukum islam. materi ini adalah tugas mata kuliah saya dari kampus AMIK IBNU KHALDUN PALOPO. hehehe baiklah langsung saja saya masuk ke materi saya.
Pengertian ijtihad
Ijtihad berasal dari kata
jahada. Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban
kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam
segala perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan
ijtihad secara berbeda-beda. Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad
adalah mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat
operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum.
Sementara Imam al-Amidi
mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum
syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari
tambahan kemampuannya itu. Sedangkan imam al-Ghazali
menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam
(ijtihad sempurna).
Imam Syafi’I menegaskan
bahwa seseorang tidak boleh mengatakan tidak tahu terhadap permasalahan apabila
ia belum melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari sumber hukum dalam permasalahan
tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum ia
sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh tenaga. Imam Syafi-I
hendak menyimpulkan bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan dengan
sungguh-sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari berbagai
aspek criteria seorang mujtahid agar hasil ijtihadnya bisa menjadi pedoman bagi
orang banyak.
Ahli ushul fiqh
menambahkan kata-kata al-faqih dalam definisi tersebut sehingga
definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuannya.
Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa penambahan faqih
tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan yang dilakukan oleh orang
yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.
Dalam definisi lain,
dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan
hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan
Sunah Rasul. Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap
kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian
terhadap sesuatu hukum syara’. Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu
hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang
dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang
terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad
dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul
ijtihad).
2. Pengertian
hukum
Hukum
Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu agama, sehingga istilah
hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan
konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim diartikan agama adalah
suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih tinggi dan tidak bisa disamakan
dengan hukum. Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya menyangkut soal
keduniaan semata. Sedangkan Joseph Schacht mengartikan
hukum Islam sebagai totalitas perintah Allah yang mengatur kehidupan umat Islam
dalam keseluruhan aspek menyangkut penyembahan dan ritual, politik dan hukum.
Terkait tentang sumber
hukum, kata-kata sumber hukum Islam merupakan terjemahan dari lafazh Masadir
al-Ahkam. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang
ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti
sumber hukum Islam, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah.
Penggunaan mashadir al-Ahkam oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu
yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.
Yang dimaksud Masadir
al-Ahkam adalah dalil-dalil hukum syara yang diambil (diistimbathkan)
daripadanya untuk menemukan hukum. Sumber hukum dalam Islam, ada yang
disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan
(mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al
Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan
dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum
Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum
yang empat di atas adalah istihsan, maslahah mursalah, istishab, ‘uruf, madzhab
as-Shahabi, syar’u man qablana.
Dengan demikian, sumber
hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam
sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber
hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang
ketujuh adalah ad-dzara’i. Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang
masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang
lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.
Hukum
Islam mengalami perkembangan yang pesat di periode Nabi
Muhammad di mana tradisi Arab pra-Islam yang berhubungan dengan akidah
dihilangkan, sedangkan tradisi lokal Arab yang berhubungan dengan
muamalah–sejauh masih sejalan dengan nilai-nilai Islam, dipertahankan dan
diakulturasikan. Namun dalam perjalanannya, hukum Islam mengalami pergolakan
dan kontroversi yang luar biasa ketika dihadapkan dengan kondisi sosio-kultural
dalam dimensi tempat dan waktu yang berbeda. Menurut
hemat penulis, hukum Islam meliputi syariat (al-Qur’an dan sunnah) sebagai
sumber primer dan fiqh yang diambil dari syariat yang pada dasarnya digunakan
sebagai landasan hukum.
Adapun spesifikasi dari
macam-macam hukum Islam, fuqaha memberi formulasi di antaranya wajib, sunnah,
haram, makruh dan mubah.
a. Wajib
Ulama memberikan banyak
pengertian mengenainya, antara lain suatu
ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau tidak berdosa. Atau Suatu ketentuan jika ditinggalkan mendapat adzab.
Contoh, Shalat subuh hukumnya wajib, yakni suatu ketentuan dari agama yang
harus dikerjakan, jika tidak berdosalah ia. Alasan yang dipakai untuk
menetapkan pengertian diatas adalah atas dasar firman Allah swt: Dirikanlah
shalat dari tergelincir matahari sampai malam telah gelap dan bacalah Al Qur’an
di waktu Fajar, sesungguhnya membaca Al Qur’an di waktu Fajar disaksikan
(dihadiri oleh Malaikat yang bertugas di malam hari dan yang bertugas di siang
hari).
b. Sunnah
Suatu
perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak
berdosa. Atau bisa anda
katakan sebagai suatu perbuatan yang
diminta oleh syari’ tetapi tidak wajib, dan meninggalkannya tidak berdosa.
c. Haram
Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu.
Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu.
d. Makruh
Arti makruh secara bahasa adalah dibenci. Suatu ketentuan larangan yang lebih baik tidak
dikerjakan dari pada dilakukan. Atau meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya.
e. Mubah
Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal. Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya atau segala sesuatu yang diidzinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya.
Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal. Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya atau segala sesuatu yang diidzinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya.
3. Kriteria
mujtahid
Seseorang yang menggeluti
bidang fiqh tidak bisa sampai ke tingkat mujtahid kecuali dengan memenuhi
beberapa syarat, sebagian persyaratan itu ada yang telah disepakati, dan
sebagian yang lain masih diperdebatkan. Adapun syarat-syarat yang telah
disepakati adalah:
a. Mengetahui
al-Quran
Al-Qur’an adalh sumber
hukum Islam primer di mana sebagai fondasi dasar hukum Islam. Oleh karena itu,
seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara mendalam. Barangsiapa yang
tidak mengerti al-Qur’an sudah tentu ia tidak mengerti syariat Islam secara
utuh. Mengerti al-Qur’an tidak cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa
melihat bagaimana al-Qur’an memberi cakupan terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya
al-Ghazali memberi syarat seorang mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah
sekitar 500 ayat.
- Mengetahui
Asbab al-nuzul
Mengetahui sebab turunnya
ayat termasuk dalam salah satu syarat mengatahui al-Qur’an secara komprehensif,
bukan hanya pada tataran teks tetapi juga akan mengetahui secara
sosial-psikologis. Sebab dengan mengetahui sebab-sebab turunnya ayat akan
memberi analisis yang komprehensif untuk memahami maksud diturunkannya teks
Quran tersebut kepada manusia.
Imam as-Syatibi dalam
bukunya al-Muwafaqaat mengatakan bahwa mengetahui sebab turunnya ayat adalah
suatu keharusan bagi orang yang hendak memahami al-Qur’an. Pertama, suatu
pembicaraan akan berbeda pengertiannya menurut perbedaan keadaan. Kedua, tidak mengetahui
sebab turunnya ayat bisa menyeret dalam keraguan dan kesulitan dan juga bisa
membawa pada pemahaman global terhadap nash yang bersifat lahir sehingga sering
menimbulkan perselisihan.
- Mengetahui nasikh dan mansukh
Pada dasarnya hal ini
bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai berdalih menguatkan suatu hukum
dengan ayat yang sebenarnya telah dinasikhkan dan tidak bisa dipergunakan untuk
dalil.
b. Mengetahui
as-sunnah
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus
mengetahui as-Sunnah. Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau
ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi SAW.
- Mengetahui
ilmu diroyah hadits
Ilmu diroyah menurut
al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan memisahkan hadis yang shahih dari yang
rusak dan hadis yang bisa diterima dari hadis yang ditolak. Seorang mujtahid
harus mengetahui pokok-pokok hadis dan ilmunya, mengenai ilmu tentang para
perawi hadis, syarat-syarat diterima atau sebab-sebab ditolaknya suatu hadis,
tingkatan kata dalam menetapkan adil dan cacatnya seorang perawi hadis, dan
lain hal-hal yang tercakup dalam ilmu hadis, kemudian mengaplikasikan
pengetahuan tadi dalam menggunakan hadis sebagai dasar hukum.
- Mengetahui
hadis yang nasikh dan mansukh
Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini
dimaksudkan agar seorang mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang
sudah jelas dihapus hukumnya dan tidak boleh dipergunakan. Seperti hadis yang
membolehkan nikah mut’ah di mana hadis tersebut sudah dinasakh secara pasti
oleh hadis-hadis lain.
- Mengetahui
asbab al-wurud hadis
Syarat ini sama dengan
seorang mujtahid yang seharusnya menguasai asbab al-nuzul, yakni mengetahui
setiap kondisi, situasi, lokus, serta tempus hadis tersebut ada.
c. Mengetahui
bahasa Arab
Seorang mujtahid wajib
mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar penguasaannya pada objek kajian lebih
mendalam, teks otoritatif Islam menggunakan bahasa Arab. Hal ini tidak lepas
dari bahwa teks otoritatif Islam itu diturunkan menggunakan bahasa Arab.
d. Mengetahui
tempat-tempat ijma’
Bagi seorang mujtahid,
harus mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati oleh para ulama, sehingga
tidak terjerumus memberi fatwa yang bertentangan dengan hasil ijma’.
Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang
berseberangan dengan nash tersebut. Namun menurut hemat penulis, seorang
mujtahid bisa bertentangan dengan ijma’ para ulama selama hasil ijtihadnya
maslahat bagi manusia.
e. Mengetahui
ushul fiqh
Di antara ilmu yang harus
dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu ushul fiqh, yaitu suatu ilmu yang telah
diciptakan oleh para fuqaha utuk meletakkan kaidah-kaidah dan cara untuk
mengambil istimbat hukum dari nash dan mencocokkan cara pengambilan hukum yang
tidak ada nash hukumnya. Dalam ushul fiqh, mujtahid juga dituntut untuk
memahami qiyas sebagai modal pengambilan ketetapan hukum.
f. Mengetahui
maksud dan tujuan syariah
Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk
melindungi dan memelihara kepentingan manusia. Pemeliharaan ini dikategorikan
dalam tiga tingkatan maslahat, yakni dlaruriyyat (apabila dilanggar akan
mengancam jiwa, agama, harta, akal, dan keturunan), hajiyyat (kelapangan hidup,
missal memberi rukshah dalam kesulitan), dan tahsiniat (pelengkap yang terdiri
dari kebiasaan dan akhlak yang baik).
g. Mengenal
manusia dan kehidupan sekitarnya
Seorang mujtahid harus mengetahui tentang
keadaan zamannya, masyarakat, problemnya, aliran ideologinya, politiknya,
agamanya dan mengenal hubungan masyarakatnya dengan masyarakat lain serta
sejauh mana interaksi saling mempengaruhi antara masyarakat tersebut.
h. Bersifat
adil dan taqwa
Hal ini bertujuan agar produk hukum yang
telah diformulasikan oleh mujtahid benar-benar proporsional karena memiliki
sifat adil, jauh dari kepentingan politik dalam istinmbat hukumnya.
i. Adapun
ketentuan-ketentuan yang masih dipersilihkan adalah mengetahui ilmu ushuluddin,
ilmu mantiq, dan mengetahui cabang-cabang fiqh.
4. Taqlid
Dalam bahasa yang
sederhana, taqlid adalah sebuah masa atau tindakan di mana ijtihad dilarang
untuk dilakukan. Dan pada masa ini lebih memberikan aspek legal-formal pada
ulama-ulama yang telah memberikan produk hukumnya masing-masing. Sehingga pada
periode ini, Islam lebih terpetak-petak dalam madzab-madzab tertentu yang
menjadi panutan.
Periode
taqlid ini bermulai sekitar pertengahan abad 4 H atau abad 10 M. Pada masa ini pula terdapat beberapa faktor,
yaitu faktor politik, intelektual, moral, dan sosial yang mempengaruhi kebangkitan umat islam
dan menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau
perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan. Gerakan ijtihad dan upaya
perumusan undang-undang sudah berhenti. Semangat kebebasan dan kemerdekaan
berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan Alquran dan Sunnah
sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan cara
bertaqlid. Semua pengaruh yang mendatang itu menolak kemerdekaan berpikir dan
menyeretnya kepada taqlid, menjadi pengikut Abu Hanifah, pengikut Malik,
pengikut asy syafi’i atau pengikut Ahmad saja.
Mereka
membatasi diri dalam batas-batas lingkungan madzhab-madzhab itu. Kesungguhan
mereka ditujuan untuk memahami lafad-lafad dan perkataan imam-imam saja, bukan
lagi untuk mmahami nash-nash itu sendiri. Oleh karenanya berhentillah masa
tasyri’ dan bekulah masa pembinaan hukum, padahal masa selalu terus berputar,
setiap detik baru terjadi transisi, setiap transisi membawa peristiwa yang
menimbulkan masalah baru yang membutuhkan hukum.
5. Ittiba’
Menurut ulama ushul,
ittiba’ adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang,
dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan
ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW.
Definisi lainnya, ittiba’ ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang
menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba’ ditetapkan
berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba’ adalah lawan taqlid.
Ulama berbeda pendapat,
ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal
menyatakan bahwa ittiba’ itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para
sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain. Pendapat yang lain membolehkan
berittiba’ kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul
anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).
6. Talfiq
Menurut istilah, talfiq
ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan
mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali dan saksi
adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah
tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq
dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk
melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari
pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya. Ada talfiq yang
tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang
paling mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang
dicela para ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.
IV. KESIMPULAN
Ijtihad adalah sebuah
usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai metode yang
diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan
mengetahui hukum Islam untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan
bermasyarakat. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan
hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks di mana
membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut.
Jenis-jenis ijtihad adalah ijma’, qiyas, istiqsan, maslahah mursalah, istishab,
syar’u man qoblana, ‘urf, dan lain sebagainya.
V. PENUTUP
Demikian makalah ijtihad
dalam mata kuliah Ushul Fiqh II yang diampu oleh bapak Musahadi HAM, yang
tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Pemakalah sadar bahwa ini merupakan proses
dalam menempuh pembelajaran, untuk itu pemakalah mengharapkan kritik serta
saran yang membangun demi kesempurnaan makalah saya. Harapan pemakalah semoga
makalah ini dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amien.
semoga materi di atas dapat bermanfaat bagi semua pembaca . sekian dan terima kasih
Tidak ada komentar :
Posting Komentar